Migrant Watch: Solusi Ketenagakerjaan Prabowo Tak Rasional, Ancam Nasib Pekerja

Berita-Cendana.Com- Jakarta, - Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini melakukan wawancara eksklusif dengan tujuh jurnalis senior dari berbagai media nasional. Wawancara selama empat jam tersebut berlangsung di kediaman pribadinya di Hambalang, Bogor, pada Minggu (6/4/2025), dan membahas berbagai isu strategis kenegaraan.

Salah satu topik penting yang dibahas adalah penciptaan lapangan kerja, isu yang sangat krusial di tengah tantangan ketenagakerjaan yang dihadapi Indonesia saat ini.

Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, menilai bahwa solusi yang ditawarkan Prabowo dalam wawancara tersebut sarat dengan retorika moral dan miskin strategi ekonomi yang konkret.

"Kalau seorang pemimpin negara hanya menyuruh rakyat untuk 'mau bekerja' atau 'pulang ke desa', itu sama saja menganggap persoalan besar seperti pengangguran, PHK, dan kurangnya lapangan kerja hanyalah soal kemauan pribadi. Urusan ketenagakerjaan itu sangat kompleks dan membutuhkan solusi nyata dari negara. Cara berpikir seperti ini menutupi akar masalah sebenarnya dan berkesan negara lepas tanggung jawab," ujar Aznil Tan ke media, Jakarta (8/4/2025).

Menurut Aznil, dalam sistem negara kesejahteraan modern, negara wajib menciptakan kerja layak bukan cukup dengan imbauan, tapi lewat kebijakan nyata: fiskal yang kuat, industri padat karya, pendidikan vokasi yang relevan, dan perlindungan sosial.

"Indonesia sedang mengalami jobless growth ekonominya tumbuh, tapi tak banyak menyerap tenaga kerja. Banyak lulusan akhirnya bekerja di sektor informal, dengan gaji rendah, tak sesuai keahlian, dan tanpa perlindungan sosial," jelasnya.

Aznil Tan juga menyoroti arahan untuk kembali ke desa tanpa kejelasan skema ekonomi yang menyertainya.

"Menyuruh rakyat kembali ke desa tanpa ekosistem ekonomi yang jelas bukan solusi. Keahlian orang itu macam-macam, tidak semua bisa langsung cocok di desa. Kebijakan seperti ini malah membuang tenaga terdidik, meminggirkan angkatan kerja, dan melemahkan daya saing bangsa. Ini ngawur dan sangat berbahaya masa depan babgsa," tegas Aznil.

Aznil juga mengkritisi minimnya gagasan konkret Prabowo terkait dampak disrupsi teknologi terhadap pasar kerja. 

"Presiden bicara soal otomatisasi dan AI, tapi tanpa skema reskilling, arah pendidikan vokasi, atau jaring pengaman sosial. Ini jelas tidak cukup," ujarnya.


*Kirik Empat Program Prabowo*


Lembaga Migrant Watch menilai empat program unggulan yang diklaim sebagai motor penciptaan 17 juta lapangan kerja tidak lebih dari retorika politik tanpa peta jalan dan metodologi yang jelas.

“Kita tidak tahu jenis pekerjaan apa yang dimaksud, sektor mana yang jadi fokus, dan bagaimana kemampuan fiskalnya menopang itu semua. Tanpa perencanaan matang, ini hanya angka-angka yang enak didengar, tapi sungguh menyesatkan publik,” katanya.

Empat program yang dimaksud adalah: Makan Bergizi Gratis (MBG), proyek hilirisasi melalui BPI Danantara, pembentukan Koperasi Desa Merah Putih, dan program pembangunan 3 juta rumah per tahun.

Program MBG yang diklaim akan menyerap 3 juta tenaga kerja dinilai terlalu dipaksakan. Rinciannya: 30 ribu diarahkan ke posisi pengawasan dan manajemen, 1,5 juta untuk logistik distribusi makanan, dan 1,5 juta lainnya di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.

“Memberi makan anak-anak secara gratis tentu hal baik. Tapi menjadikan program ini sebagai andalan penciptaan lapangan kerja sangat tidak masuk akal. Ini bukan ekonomi produktif, justru berisiko membebani APBN tanpa dampak jangka panjang,” kritik Aznil.

Proyek hilirisasi melalui BPI Danantara yang diklaim mampu membuka 8 juta lapangan kerja juga menuai sorotan.

“Tidak jelas sektor mana yang diprioritaskan, bagaimana pelatihan tenaga kerja dilakukan, dan siapa yang sebenarnya akan diserap: tenaga kerja lokal, asing, atau malah digantikan mesin?” tambahnya.

Rencana membentuk 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih yang ditargetkan menyerap 1,6 juta tenaga kerja juga dinilai tidak realistis jika tanpa ekosistem pendukung yang terintegrasi.

“Koperasi hanya bisa efektif jika terkoneksi dengan rantai pasok industri dan sistem digital. Jika hanya berupa simpan pinjam atau warung desa, ini bukan transformasi ekonomi, melainkan sekadar aktivitas administratif,” ujarnya.

Sementara program pembangunan 3 juta rumah per tahun yang diklaim menyerap 4,8 juta tenaga kerja dinilai berisiko menciptakan surplus perumahan jika tidak dibarengi kebijakan pembiayaan, tata ruang, dan strategi distribusi permintaan yang matang.

“Pembangunan massal tanpa kalkulasi terhadap daya beli masyarakat, kebutuhan riil di tiap wilayah, serta skema pembiayaan yang konkret, hanya akan menghasilkan deretan rumah kosong. Jangan sampai kita mengulang kesalahan lama: bangun rumah dulu, baru cari penghuninya. Itu pemborosan fiskal besar-besaran,” tegas Aznil.

Ia mengingatkan, meskipun backlog perumahan masih tinggi, persoalan utama bukan semata ketersediaan unit, melainkan akses masyarakat terhadap pembiayaan, serta lokasi hunian yang sesuai dengan pusat kegiatan ekonomi.

Lebih lanjut, Migrant Watch menekankan pentingnya keempat program tersebut dibarengi dengan desain industri yang solid, infrastruktur pendukung, alih teknologi, akses pembiayaan, dan reformasi kelembagaan. Tanpa itu semua, program-program ini hanya akan menjadi jargon kampanye yang kosong.

“Saya sungguh tak habis pikir. Program MBG dijadikan tulang punggung ekonomi nasional dan diklaim mampu menyerap jutaan tenaga kerja? Tak ada satupun sejarah negara maju yang dibangun hanya dengan membagikan satu kotak nasi per hari dan berharap itu menjadi kekuatan ekonomi berkelanjutan. Ini menyesatkan,” tutup Aznil Tan.(*).


0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot