AMERIKA PENJARA ADITYA, TRUMP RUSAK MORALITAS UNIVERSAL

Berita-Cendana.Com- Kupang,- Aditya Wahyu Harsono, seorang Warga Negara Indonesia, ditangkap secara tiba-tiba oleh otoritas imigrasi Amerika Serikat saat sedang bekerja. Penangkapan oleh agen ICE (U.S. Immigration and Customs Enforcement) di Marshall, Minnesota, akhir Maret lalu, berlangsung tanpa pemberitahuan atau pengumuman resmi.

Aksi itu berlangsung diam-diam, seolah hendak menghapus jejak seseorang yang tak pernah mengganggu sistem. Bahkan, pihak rumah sakit tempat Aditya bekerja yang selama ini sangat menghormatinya dipaksa mengatur pertemuan rahasia di ruang bawah tanah untuk memfasilitasi penangkapannya.

Padahal, Aditya bukan buronan. Ia bukan pelaku kekerasan, bukan pengganggu ketertiban. Ia adalah ayah muda, taat hukum, sedang menempuh pendidikan tinggi, dan memiliki izin tinggal sah di Amerika Serikat. 

Iya bekerja sebagai manajer rantai pasokan rumah sakit, ia menghidupi keluarganya dan membesarkan putrinya yang baru berusia delapan bulan dari pernikahannya dengan Peyton, warga negara AS.

Empat hari sebelum ditangkap, visa pelajar F-1 miliknya dicabut oleh otoritas imigrasi, meskipun ia tengah menjalani proses pengajuan green card melalui jalur pernikahan. Artinya, ia berada dalam masa transisi status yang legal dan diakui hukum.

Alasan pencabutan visa dikaitkan dengan pelanggaran ringan tahun 2022 tindakan vandalisme berupa grafiti di beberapa trailer dan bangunan di Marshall. Namun, menurut pengacaranya, Sarah Gad, tuduhan tersebut tidak disertai dokumentasi resmi dan konteks yang jelas. 

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini soal hukum, atau justru bermuatan politis? Sarah Gad menduga ada motif pembalasan. 

Aditya diketahui pernah ikut aksi damai mendukung gerakan Black Lives Matter pada April 2021, menyusul pembunuhan George Floyd dan Daunte Wright. Ia sempat ditahan karena melanggar jam malam, namun semua tuduhan dibatalkan dan tak pernah berlanjut ke pengadilan.

Sidang terakhir Aditya digelar Kamis, 10 April 2025. Di hadapan Hakim, Sarah Gad menegaskan bahwa kliennya bukan ancaman: ia tidak berisiko melarikan diri, bukan kriminal, hanya seorang ayah muda yang ingin hidup damai bersama keluarganya.

Ada secercah harapan. Hakim menyetujui pembebasan dengan jaminan $5.000. Di ruang sidang, kabar itu terasa seperti embun di tengah kekeringan terutama bagi Peyton, yang berjuang sendirian membesarkan bayi mereka.

Namun harapan itu segera pupus. Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) langsung mengajukan banding. Dalam waktu 10 hari, keputusan pembebasan ditangguhkan. Keadilan seolah digantung, menunggu belas kasihan dari sistem yang kaku dan impersonal.

Peyton menyaksikan suaminya diperlakukan seperti penjahat, meski tak pernah melanggar hukum. Hidup mereka porak-poranda. Cinta dan kerja keras seakan tak berdaya di hadapan sistem yang dingin.

Pertemuan pertama Peyton dan Aditya sejak penangkapan terjadi di balik kaca plexiglass penjara Kandiyohi County. Mereka hanya bisa menangis.

“Semua ini menghancurkan hidup kami. Ini hanya membuang-buang uang pembayar pajak,” kata Peyton Harsono.

“Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Dia hanya bilang minta maaf karena harus meninggalkan kami… dan dia sangat merindukan kami,” ujarnya lirih.

Ironisnya, jutaan dolar uang rakyat justru digunakan untuk memperpanjang penahanan seorang pria yang mestinya bebas. Bukan demi keamanan publik, tapi demi mempertahankan ilusi kontrol dalam sistem yang kehilangan rasa kemanusiaannya.

Trump Meruntuhkan Nilai-nilai Universal

Penangkapan Aditya Wahyu Harsono menggugah pertanyaan besar tentang konsistensi hukum dan integritas demokrasi di Amerika Serikat. Negara yang selama ini mengklaim dirinya sebagai penjaga kebebasan dan keadilan global. Ironisnya, kini seorang imigran yang justru menyuarakan nilai-nilai tersebut, malah dikriminalisasi.

Kasus ini menyoroti urgensi transparansi dan keadilan dalam penegakan hukum imigrasi. Hak individu terlebih bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan sosial atau politik yang sah, seharusnya dilindungi, bukan ditindas.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa seluruh pendatang menjalani pemeriksaan ketat, selaras dengan kebijakan pemerintahan Trump yang mengutamakan standar keamanan nasional. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, bahkan menegaskan bahwa visa mahasiswa dapat dicabut jika mereka terlibat dalam perusakan fasilitas atau pendudukan gedung universitas.

Namun di balik dalih “menjaga ketertiban,” Amerika justru memenjarakan Aditya hanya karena ia turut serta dalam aksi damai menuntut keadilan atas kematian George Floyd. Aksi itu bagian dari gerakan Black Lives Matter (BLM), yang memperjuangkan keadilan rasial dan menentang kekerasan sistemik terhadap orang kulit hitam.

Penangkapan Aditya adalah preseden berbahaya. Ketika seorang imigran taat hukum diperlakukan seperti kriminal berat, yang dipertanyakan bukan hanya legalitas, melainkan integritas sistem hukum itu sendiri.

Apalagi jika alasan penangkapannya adalah karena keterlibatannya dalam demonstrasi damai, sebuah hak konstitusional yang dijamin oleh demokrasi Amerika.

Kasus ini mencerminkan kekhawatiran lebih luas: hukum imigrasi semakin sering digunakan sebagai alat politik. Antara 2012 hingga awal 2018, ICE bahkan secara keliru menangkap 1.488 warga negara Amerika sendiri. Banyak dari mereka dipenjara berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Ini bukan sekadar soal imigrasi. Ini tentang krisis moral yang mengguncang landasan nilai yang diklaim Amerika perjuangkan. Penangkapan Aditya adalah bagian dari pola sistemik yang tumbuh subur di bawah pemerintahan Donald Trump di mana imigran dipandang sebagai ancaman, dan perbedaan pendapat sebagai bentuk permusuhan.

Ketika Aditya, seorang warga negara Indonesia yang sah dan berpendidikan, menyuarakan solidaritas terhadap korban rasisme, ia tidak hanya dikriminalisasi, tetapi juga disingkirkan secara diam-diam oleh birokrasi yang semakin diskriminatif. Ini adalah pertanda kemunduran demokrasi Amerika yang selama ini dikagumi dunia.

Amerika pernah menjadi pelopor Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menjamin kebebasan berekspresi, berpindah, dan mencari kehidupan yang layak. Pasal 9 dan 12 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) menolak penahanan sewenang-wenang dan menjamin perlindungan hukum. 

Begitu juga, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial secara tegas menolak diskriminasi atas dasar asal negara maupun pandangan politik.

Penahanan Aditya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar tersebut. Lebih ironis lagi, Amerika justru menginjak-injak moralitas yang selama ini mereka dakwahkan ke seluruh dunia. Negara yang mengklaim sebagai penjaga demokrasi global kini menggunakan kedok “HAM” sebagai alat dominasi.

Trump menjadi simbol dari kemunduran itu melalui retorika rasis, kebijakan otoriter, dan semangat anti-imigran yang menodai nilai-nilai universal. Ia menggeser arah Amerika dari cahaya demokrasi menuju bayang-bayang fasisme.

Edward Said, seorang sosiolog, kritikus budaya, dan orientalis terkenal asal Palestina, menulis tentang bagaimana Barat sering menganggap dirinya sebagai pusat peradaban yang lebih superior. Dalam bukunya yang terkenal Orientalism (1978), Said menggambarkan bagaimana kebijakan dan sikap Barat terhadap dunia Timur seringkali dikemas dalam narasi dominasi, ketidaksetaraan, dan distorsi.

Pandangan ini, menurut Said, menciptakan kesenjangan besar yang mengarah pada ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan ketidakberdayaan dunia Timur, yang tercermin dalam perlakuan terhadap Aditya seorang imigran yang secara sah tinggal di Amerika Serikat.

Sedangkan, Noam Chomsky, intelektual terkemuka asal Amerika Serikat, dikenal sebagai bapak linguistik modern sekaligus kritikus tajam terhadap kekuasaan dan imperialisme global. Ia pernah menegaskan dengan lugas: "Freedom is fine… as long as you’re not actually exercising it in ways the powerful dislike."(Kebebasan itu baik-baik saja... selama tidak digunakan dengan cara yang tidak disukai oleh penguasa).

Dan itulah yang terjadi pada Aditya. Ia bersuara menyuarakan kegelisahan dan kebenaran yang diyakininya. Tapi justru karena itu, ia dibungkam.

Hari ini kita menyaksikan demokrasi Amerika berada di titik nadir. Ketika seorang pendatang legal, seorang ayah muda, dipenjara karena menyuarakan keadilan secara damai, maka Amerika telah melanggar nilai-nilai yang mereka kampanyekan sendiri.

Trump dengan jargon “America First”-nya, dengan umpatan “Kiss my ass”-nya, tak hanya menampilkan kesombongan pribadi, tapi juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa kehilangan arah dan etika.

Maka tak berlebihan jika saya menyebut secara satir: “Actually, Trump’s kissing his own ass.” Sebuah sindiran balik atas kerusakan nilai yang ia timbulkan.

Dunia Ketiga Menjaga Moralitas Universal

Sejak Perang Dunia II, umat manusia sepakat membangun peradaban baru di atas fondasi nilai-nilai universal: keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Nilai-nilai ini adalah kompas moral umat manusia penuntun menuju dunia yang lebih beradab dan berperikemanusiaan.

Namun hari ini, kemunafikan itu tampak begitu nyata. Amerika Serikat, yang selama ini mengklaim diri sebagai penjaga demokrasi dan HAM dunia, justru menjadi pelanggar paling terang-terangan terhadap nilai-nilai itu sendiri.

Dunia tak bisa lagi diam. Negara-negara, bangsa-bangsa, dan komunitas global yang masih setia pada prinsip kemanusiaan harus bersikap. Inilah saatnya mengambil alih arah peradaban, menjaga nyala moralitas universal, dan membangun masa depan yang lebih adil bagi seluruh umat manusia tanpa dikotori oleh kepentingan imperialis atau politik rasis.

Dunia sedang menonton. Ketika Aditya Wahyu Harsono seorang imigran legal, berpendidikan, dan berkeluarga diperlakukan seperti penjahat hanya karena mengikuti aksi damai menuntut keadilan atas kematian George Floyd, maka yang runtuh bukan hanya demokrasi Amerika.

Yang hancur adalah kredibilitas seluruh narasi tentang kebebasan, HAM, dan keadilan yang selama ini mereka jual ke dunia.

Ini bukan hanya tentang satu orang. Ini tentang arah sejarah. Apakah umat manusia akan terus membiarkan kemunafikan bicara atas nama moralitas? Ataukah kita mulai jujur mengakui bahwa nilai-nilai universal sedang dikoyak oleh negara yang paling keras mengklaim memilikinya?.

Masyarakat sipil global, diaspora Indonesia, dan komunitas pejuang HAM harus bersatu. Kita harus mengecam kebijakan represif yang menjadikan hukum sebagai alat politik dan diskriminasi.

Sebab jika seorang Aditya bisa dikriminalisasi karena menyuarakan keadilan secara damai, maka siapapun di dunia ini tak lagi aman dari represi.

Hari ini, sejarah sedang mencatat. Dunia menyaksikan: kejahatan terhadap kemanusiaan sedang dilakukan secara sistematis oleh negara yang mengaku sebagai simbol kebebasan.

Negara-negara berkembang, yang selama ini memiliki hati luhur, pernah menyambut nilai-nilai suci yang digaungkan oleh Barat. Namun jiwa yang polos itu justru dimanfaatkan untuk mewujudkan hegemoni atas bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Kita adalah bangsa yang setara. Bangsa yang bermoral. Kita berdiri bukan karena kekuasaan, tapi karena keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan. Dan ketika kemanusiaan diinjak, maka diam adalah pengkhianatan.

Selama ini, dunia menggolongkan banyak dari kita sebagai "Dunia Ketiga" tertuduh tertinggal secara ekonomi dan teknologi. Namun dalam krisis-krisis kemanusiaan global, justru dari sinilah sering lahir suara moral paling jernih dan empati paling tulus.

Kini saatnya bangsa-bangsa yang masih menjaga integritas moral angkat suara. Menjaga peradaban dunia, agar ukuran kemajuan tak lagi dilihat dari kekuatan militer, dominasi ekonomi, atau teknologi canggih melainkan dari keberanian membela yang lemah, menjunjung keadilan, dan menjaga martabat manusia.

Ketika dunia kehilangan arah moral, suara dari pinggiran inilah yang bisa menjadi kompas baru. Sebab di tengah dominasi wacana global yang bias kepentingan, suara yang jujur dan berakar pada kemanusiaan menjadi harapan terakhir agar dunia tetap waras dan tetap beradab. Penulis adalah Direktur Eksekutif Migrant Watch dan Pengamat Ketenagakerjaan. (Aznil Tan).



0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot