Pemerintahan Prabowo Dinilai Eksploitasi Pekerja Migran Demi Devisa

Berita-Cendana.Com- Jakarta, – Keputusan pemerintah mencabut moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke Timur Tengah menuai kritik tajam. Migrant Watch menilai kebijakan ini lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi dibandingkan perlindungan tenaga kerja.

Di tengah sorotan publik, Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, menyuarakan keprihatinannya. Ia mempertanyakan apakah negara benar-benar melindungi warganya atau justru menjadikan mereka sebagai komoditas ekonomi.

"Pembukaan kembali penempatan PMI ke Timur Tengah patut dicurigai publik karena dilakukan tanpa sistem perlindungan yang transparan. Ini lebih mencerminkan orientasi bisnis negara dalam memperoleh devisa dibandingkan melindungi pekerjanya," ujar Aznil Tan dalam keterangannya kepada media, Senin (17/3/2025).

Migrant Watch menegaskan bahwa tanpa sistem perlindungan yang kuat, kebijakan ini berisiko mengulang sejarah kelam-kekerasan, eksploitasi, hingga perdagangan manusia yang pernah dialami PMI di kawasan tersebut.

"Kita sudah belajar dari pengalaman buruk sebelumnya. Banyak PMI menjadi korban kekerasan, eksploitasi, bahkan perdagangan manusia di Timur Tengah. Setelah 14 tahun moratorium, jika kebijakan ini dicabut, dimana sistem perlindungannya? Tanpa jaminan nyata, keputusan ini justru lebih berbahaya," tegasnya.

Migrant Watch mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam membangun sistem perlindungan PMI sebelum membuka kembali penempatan tenaga kerja ke Timur Tengah.

"Sebagai organisasi non-pemerintah yang mengawasi ketenagakerjaan migran, kami tidak pernah mendapatkan informasi tentang konsep perlindungan yang akan diterapkan. Tiba-tiba kami mengetahui dari media bahwa moratorium dicabut dengan target 600 ribu PMI dan perkiraan devisa sebesar Rp 31 triliun. Ini lebih terlihat sebagai kebijakan berorientasi bisnis daripada kesejahteraan yang berkeadilan," jelasnya lebih lanjut.

*Menolak Sistem Kafalah dan Sarikah*

Migrant Watch juga menyoroti sistem Kafalah dan Sarikah yang masih berlaku di beberapa negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Sistem ini dinilai menempatkan PMI dalam posisi rentan terhadap eksploitasi, penyiksaan, bahkan perbudakan modern.

Sistem Kafalah memberikan kewenangan penuh kepada majikan atas pekerja migran, termasuk menyita paspor, membatasi kebebasan bergerak, serta menentukan status pekerjaan tanpa perlindungan hukum yang jelas.

"Jika sistem Kafalah masih diterapkan, artinya pekerja migran kita dikirim ke dalam sistem yang sangat berpotensi menciptakan eksploitasi tenaga kerja. PMI akan tetap rentan terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang karena sistem ini memberikan kontrol penuh kepada majikan," tegas Aznil.

Selain Kafalah, Aznil juga menyoroti praktik Sarikah, di mana PMI kerap diperlakukan seperti tenaga kerja sewaan yang dapat dipindahkan dari satu majikan ke majikan lain tanpa kontrak kerja yang jelas.

"Sistem Sarikah membuat PMI kita seperti barang rental. Mereka ditampung di mess sebelum dicarikan majikan, lalu dipindah-pindahkan dari satu rumah ke rumah lain tanpa kejelasan kontrak kerja. Beban kerja mereka juga sangat berat, mulai dari membersihkan rumah besar, mencuci, memasak, hingga merawat lansia dan anak-anak. Ini bentuk eksploitasi tenaga kerja yang harus dihentikan," ujar Aznil, yang juga dikenal sebagai Aktivis 98.

Untuk menghindari hal tersebut, Migrant Watch menegaskan bahwa sebelum diberangkatkan, PMI harus memiliki kontrak kerja yang jelas dengan majikan, bukan sekadar ditempatkan di mess milik perusahaan perekrutan.

"PMI harus diberangkatkan dengan kepastian kontrak kerja langsung dengan majikan. Sarikah cukup berperan sebagai agensi, seperti yang diterapkan di Taiwan dan Hong Kong. Indonesia harus menolak sistem Kafalah dan Sarikah karena bertentangan dengan prinsip ketenagakerjaan yang bermartabat dan menjunjung hak asasi manusia," tegasnya.

Migrant Watch juga mendesak pemerintah untuk memastikan sistem perlindungan tenaga kerja dibangun secara menyeluruh, mencakup tahap pra-keberangkatan, masa bekerja, hingga purna kerja.

"Risiko terbesar terjadi saat PMI sudah bekerja. Selama ini, mereka sering kali ditempatkan tanpa mekanisme perlindungan yang tanggap. Jika menghadapi masalah atau melarikan diri akibat kondisi kerja yang buruk, mereka seperti anak ayam kehilangan induk. Mekanisme dan infrastruktur untuk menangani persoalan ini harus tersedia agar PMI tidak dibiarkan menghadapi risiko sendirian," jelasnya lebih lanjut.

*Era Pekerja Migran Bermartabat ke Saudi*

Migrant Watch menegaskan bahwa perluasan kesempatan kerja bagi masyarakat, terutama mereka yang berpendidikan rendah, memang penting. Namun, hal ini tidak boleh mengorbankan hak dan keselamatan pekerja migran.

"Rakyat butuh pekerjaan, dan negara harus hadir membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi warganya. Namun, kehadiran negara juga harus memastikan mereka tidak dieksploitasi," tegas Migrant Watch.

Migrant Watch juga menekankan bahwa penempatan PMI ke Timur Tengah kali ini harus berbeda dari sebelumnya. Pemerintah diminta memastikan bahwa dunia internasional, termasuk Arab Saudi dan negara tujuan lainnya, berkomitmen meninggalkan sistem lama yang rentan terhadap eksploitasi.

"Jika moratorium ini dibuka, pastikan sistem yang diterapkan berbeda dengan sebelumnya. Bahwa skema kerja ini lebih modern, tidak lagi berada dalam era kegelapan, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sudah saatnya dunia internasional beralih ke sistem ketenagakerjaan yang berlandaskan kesetaraan dan keadilan," tutupnya.




0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot