Berita-Cendana.Com- TTS,- Refleksi Kristen dalam Menyikapi Kasus Pembunuhan Dalam Keluarga di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di tengah-tengah ketenangan yang sering kali tercipta dalam kehidupan keluarga di Kabupaten Timor Tengah Selatan, kita dihadapkan pada kenyataan pahit yang menyesakkan hati, maraknya kasus pembunuhan antara anak terhadap orangtua, maupun orang tua terhadap anak. Tragedi ini seolah mengingatkan kita akan kenyataan betapa rapuhnya ikatan keluarga yang seharusnya menjadi tempat pertama di mana kasih sayang, kepercayaan, dan pengertian tumbuh subur. Namun, ketika kepercayaan itu rusak, kasih sayang hilang, dan penghormatan tergantikan oleh kebencian, maka kehancuran itu menjadi semakin nyata. Sebagai umat Kristen, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apa yang hilang dari nurani kita sehingga bisa terjadi tindakan kekerasan dalam keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kasih?.
Keluarga dalam Pandangan Kristen: Fondasi Kasih yang Tak Tergoyahkan
Bagi umat Kristen, keluarga adalah berkat dan anugerah yang diberikan oleh Tuhan. Dalam Kitab Kejadian 2:24, Tuhan berkata, "Karena itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." Pernikahan dan keluarga dalam pandangan Kristen adalah gambaran dari kasih Tuhan kepada umat-Nya. Keluarga diharapkan menjadi tempat di mana kasih, pengampunan, dan rasa hormat menjadi nilai utama. Itulah sebabnya, hubungan antar anggota keluarga harus didasari oleh cinta yang tulus, bukan kebencian atau kekerasan.
Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa Allah adalah sumber segala kasih. Dalam 1 Yohanes 4:7-8, tertulis, "Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." Ini menunjukkan bahwa kasih yang sejati hanya dapat terwujud jika kita menjalin hubungan yang erat dengan Tuhan, dan hubungan kita dengan sesama, terutama keluarga, harus mencerminkan kasih tersebut. Ketika kasih ini hilang, maka konflik dan kekerasan akan mudah terjadi, bahkan bisa berujung pada kekerasan ekstrim seperti pembunuhan.
Namun, dalam kenyataannya, kita sering kali mendapati bahwa hubungan keluarga menjadi rusak dan bahkan hancur. Ketika kita mendengar kasus pembunuhan antara anak dan orangtua di Timor Tengah Selatan, hati kita pasti akan bertanya: Mengapa ini bisa terjadi dalam keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan penuh kasih?
Penyebab Pembunuhan dalam Keluarga: Faktor Sosial dan Psikologis
Pembunuhan dalam keluarga sering kali tidak terjadi dalam sekejap, melainkan merupakan hasil dari ketegangan yang telah berlangsung lama. Dalam banyak kasus, faktor ekonomi menjadi pemicu utama. Banyak faktor pemicu seperti halnya sebagian besar penduduk yang bergantung pada pertanian dan sektor-sektor lainnya yang rentan terhadap perubahan iklim dan fluktuasi harga, kemiskinan sering kali menjadi masalah utama. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan perawatan kesehatan bisa menambah beban psikologis, menciptakan ketegangan dalam keluarga, dan pada akhirnya memicu kekerasan.
Bagi anak-anak yang tumbuh dalam kondisi seperti ini, mereka mungkin merasa tidak dihargai atau tidak mendapat perhatian yang cukup dari orangtua mereka. Ketika harapan anak terhadap orangtua tidak terpenuhi, atau ketika mereka merasa terjebak dalam situasi yang tidak adil, perasaan frustrasi dan marah bisa berkembang menjadi kebencian. Sebaliknya, orangtua yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarga bisa merasa tertekan dan kehilangan kendali atas emosi mereka. Ketegangan ini, jika tidak ditangani dengan baik, dapat berkembang menjadi kekerasan.
Masalah psikologis dan gangguan mental juga sering kali menjadi faktor yang berperan dalam terjadinya kekerasan dalam keluarga. Gangguan seperti depresi, gangguan kecemasan, atau bahkan gangguan kepribadian sering kali tidak terlihat oleh orang lain. Sering kali, individu yang tertekan secara emosional merasa tidak ada jalan keluar, dan mereka melampiaskan kemarahan mereka melalui tindakan kekerasan. Dalam kasus seperti ini, hilangnya nurani bisa dipandang sebagai hasil dari ketidakmampuan untuk mengelola perasaan dan perbedaan yang ada dalam hubungan keluarga.
Faktor budaya juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Di beberapa daerah, termasuk di Timor Tengah Selatan, budaya patriarki yang menekankan otoritas orangtua sering kali menekan suara anak. Ketika anak merasa terabaikan atau dihina, mereka mungkin merasa tidak memiliki pilihan selain untuk melawan dengan cara yang paling ekstrim. Di sisi lain, orangtua yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik dengan anak-anak mereka, atau yang mengekang anak secara berlebihan, mungkin tidak menyadari bahwa mereka sudah melewati batas dalam mendidik atau mengontrol anak mereka.
Apa yang Hilang dari Nurani Kita?
Dalam konteks Kristen, kita percaya bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26). Ini berarti bahwa setiap individu memiliki martabat yang harus dihormati, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. Ketika seseorang dalam keluarga mengalami kekerasan, baik sebagai korban atau pelaku, maka martabat tersebut sedang dilanggar. Apa yang hilang dalam diri mereka adalah nurani yang seharusnya menjadi penuntun moral mereka dalam bertindak.
Nurani adalah kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap tindakan kita. Dalam perspektif Kristen, nurani ini harus senantiasa diarahkan oleh ajaran Tuhan. Ketika seseorang kehilangan nurani, mereka menjadi buta terhadap kasih, pengampunan, dan keadilan, yang seharusnya menjadi dasar hubungan manusia. Ketika kebencian menggantikan kasih, kekerasan menggantikan perdamaian, dan kemarahan menggantikan pengertian, maka tindakan-tindakan kekerasan seperti pembunuhan menjadi mungkin terjadi.
Dalam Alkitab, Tuhan memanggil kita untuk mengasihi sesama kita sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri (Matius 22:39). Ini adalah panggilan untuk mengutamakan kesejahteraan orang lain, terutama keluarga kita, di atas ego dan perasaan negatif kita. Ketika nurani kita terbelenggu oleh kebencian dan ketidakmampuan untuk mengampuni, kita kehilangan pemahaman tentang makna kasih yang sejati. Pada titik inilah kekerasan dalam keluarga bisa terjadi.
Refleksi Kristen: Mengembalikan Kasih dalam Keluarga
Sebagai umat Kristen, kita dipanggil untuk tidak hanya mendengarkan firman Tuhan, tetapi juga untuk melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi maraknya kekerasan dalam keluarga, kita perlu mengembalikan pusat perhatian kita pada kasih Tuhan, yang tidak mengenal batas. Kita harus menyadari bahwa setiap tindakan kekerasan, baik itu pembunuhan atau bentuk kekerasan lainnya, adalah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Tuhan.
Langkah pertama dalam mengatasi masalah ini adalah dengan memperkuat pengajaran keluarga Kristen yang menekankan pentingnya kasih, pengampunan, dan pengelolaan emosi. Orangtua perlu diajarkan untuk menjadi teladan dalam menciptakan lingkungan keluarga yang penuh dengan kasih dan saling menghormati. Anak-anak, di sisi lain, perlu diajarkan untuk menghargai orangtua mereka, dan memahami bahwa kasih sayang bukanlah hal yang dapat diambil begitu saja, melainkan sesuatu yang harus diberikan dengan tulus.
Selanjutnya, sebagai gereja, kita perlu menyediakan dukungan emosional dan psikologis bagi mereka yang terlibat dalam kekerasan keluarga. Pelayanan konseling dan kelompok dukungan sangat penting untuk membantu individu mengatasi masalah psikologis mereka dan menemukan cara untuk mengelola perasaan dan konflik dengan cara yang sehat.
Penting juga bagi masyarakat untuk membuka ruang bagi dialog tentang kekerasan dalam keluarga, tanpa takut akan stigma atau rasa malu. Dalam komunitas Kristen, kita harus berani berbicara dan memberi perhatian kepada mereka yang sedang mengalami masalah dalam keluarga mereka. Tindakan ini tidak hanya akan membantu mencegah lebih banyak tragedi, tetapi juga akan membawa kesembuhan bagi mereka yang terluka.
Kesimpulan
Pembunuhan dalam keluarga, baik anak terhadap orangtua maupun orangtua terhadap anak, adalah tragedi yang mengoyak nurani kita sebagai umat Kristen. Kasih yang seharusnya menjadi dasar hubungan keluarga justru digantikan oleh kebencian dan kekerasan. Sebagai orang Kristen, kita diajak untuk mengembalikan pusat perhatian kita pada kasih Tuhan yang tak terbatas, yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap hubungan keluarga. Dengan menguatkan pengajaran keluarga Kristen, memberikan dukungan psikologis, dan membuka ruang untuk dialog, kita dapat mengembalikan kasih dan nurani dalam keluarga. Hanya dengan cara ini, kita dapat mencegah lebih banyak tragedi yang menghancurkan ikatan keluarga dan menghancurkan nurani kita. (Oleh: Margarita D.I. Ottu, M.Pd.K., M.Pd.)
Posting Komentar