Berita-Cendana.Com,- Boking,- Seorang Petani lanjut usia (Lansia) menggunakan alat pemecah kemiri manual (tradisional) berhasil pecahkan 3.000 biji dalam satu hari, di Desa Meusin, Kecamatan Boking Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kemajuan teknologi di jaman sekarang tentu sebuah kepentingan sekaligus kebutuhan bagi peradaban yang semakin maju. Meski demikian, teknologi yang semakin maju ini, tidak serta spontan menjadi sebuah alat yang sempurna sekaligus final. Karena ternyata masih ada beberapa individu yang memilih cara yang masih tradisional dalam aktivitas ini.
Petani lansia ini masih menerapkan aktivitas memecah biji kemiri dengan menggunakan tangan. Dengan tangannya yang lincah, ia mampu memecah biji kemiri yang keras dengan cara dimasukkan biji kemiri pada lubang pelepah atau daun lontar yang ada diujung tersebut kemudian dipukulkan pada batu, pelepah atau lontar itu dilipat dimana sekitar 5 cm dari ujung lipatan diikat. Sehingga maksimal dalam satu hari petani ini mencapai 20 kilogram.
20 kilogram yang dipecahkan ketika dihitung menurut kebiasaannya bahwa satu kg adalah 300 biji kemiri yang besar dan 350 biji kemiri yang sedang, sehingga untuk mencapai 20 kg dalam sehari, tangan harus diayunkan sebanyak 3.000 kali. Tidak hanya alat pemecahnya yang tradisional namun untuk menghitung takaran (kilogram) juga masih menggunakan alat tradisional.
Aktivitas tradisional dipilihnya bukan karena ketinggalan teknologi atau kesulitan mendapatkan mesin pemecah biji kemiri, namun cara tersebut dipilihnya guna meminimalkan biji kemiri mengalami kerusakan parah, akibat penggunaan mesin.
Namun bukan tanpa alasan petani ini memilih cara manual. Bukan karena ketinggalan teknologi atau kesulitan mendapatkan peralatan mesin pemecah biji kemiri. Bukan itu. Tetapi ia lebih pada menghargai setiap biji kemiri terhindar dari kerusakan, saat menggunakan alat mesin pemecah.
Karena ketika menggunakan alat mesin pemecah, tidak sedikit biji kemiri yang rusak. Sementara dirinya sangat menghargai satu demi satu biji kemiri yang sudah dikumpul dari kebun dan dijemur berhari hari, lalu dipecah kulitnya secara manual.
Baginya satu biji kemiri yang dipecah dengan tangan dan tidak rusak lebih berarti, walau butuh waktu yang lama dikerjakannya. Dari pada cepat namun banyak yang rusak menggunakan mesin pemecah, dianggap sebagai sebuah kerugian.
Baginya, setiap biji kemiri yang dipecah secara manual, tetap punya harga untuk mencukupi keluarga. Sebab, dalam satu kilogram biji kemiri yang sudah dipecah, harga jual dapat mencapai 38.000 rupiah. Sementara dirinya sudah jual sekitar 28 kg Jika 20 kilogram yang dipecah. Inilah kearifan lokal versi petani lansia tersebut, dalam menggeluti pekerjaannya. Meski sudah memasuki usia tua banyak pembelajaran tentang bagaimana ia berjuang dengan caranya sendiri agar bisa menghidupi keluarga di tengah modernisasi.
“Kita tidak bisa memaksakan orang lain mengubah cara berjuangnya, jika tidak datang dari dirinya sendiri. Perlu edukasi secara bertahap serta meyakinkan jika transformasi pola kerja berbasis teknologi juga bisa memberi impact yang lebih besar,”.
Patut dihargai kearifan lokal petani ini sebagai pilihan hidup. Mungkin saja anda sangat terbantu menggunakan sarana teknologi dalam berjuang menggeluti aktivitas keseharian. Namun nun jauh di sana, masih ada yang berjuang dengan cara tradisional. Mereka tetap produktif dan tak banyak mengumbar keluhan, karena itulah peradaban keseharian mereka secara temurun. (Yohanis Kase).
Posting Komentar