Berita-Cendana.Com- Kupang,- Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk. Dilansir dari laman resmi Kemenag Jawa Timur, menyampaikan bahwa BPS dan ISEAS (Institute of South Asian Studies) menyebutkan bahwa terdapat sekitar 633 suku yang ada di Indonesia. Hal ini juga tentu saja melatarbelakangi adanya kepercayaan atau agama suku yang dianut serta agama-agama besar yang secara resmi diakui secara nasional.
Berdasarkan data dari Badan Bahasa Kemendikbud RI, jumlah bahasa daerah di Indonesia adalah sebanyak 718 bahasa. Dari 718 bahasa daerah tersebut, sebanyak 90 persen tersebar di wilayah Indonesia Timur. Sebanyak 428 di Papua, 80 di Maluku, 72 di Nusa Tenggara Timur, dan 62 di Sulawesi.
Banyaknya bahasa yang dimiliki membuat Indonesia menjadi negara urutan kedua yang memiliki bahasa daerah terbanyak di dunia setelah Papua Nugini. Untuk itu, tidak bisa dipungkiri bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara multikultural terbesar di dunia saat ini. Suatu hal yang patut disyukuri oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai anugerah yang indah.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk memiliki ideologi yang final yakni Pancasila yang mampu menampung masyarakat Indonesia dengan latar belakang kehidupan yang majemuk. Namun hal demikian dalam praktik kehidupan sehari-hari belum sepenuhnya berjalan searah dengan falsafah bangsa.
Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari suatu permasalahan tertentu seperti kehidupan beragama, pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan aspek lainnya. Dalam aspek kehidupan beragama masalah intoleransi, keharmonisan atau kerukunan di lingkungan masyarakat menjadi salah satu permasalahan yang tidak dapat terhindarkan.
Paham intoleransi merupakan paham yang dimana individu atau kelompok tertentu sangat tertutup dan tidak menerima kehadiran orang atau kelompok lain dan paham yang dianut. Hal ini dapat merusak keharmonisan antar umat beragama yang dapat dilihat melalui ucapan, tindakan melarang orang lain menjalankan tradisi yang dipercayai dalam lingkungan yang sama. Hal ini tentu dipandang sebagai musuh yang merongrong hakikat makna yang tersirat dalam Bhineka Tunggal Ika. Intoleransi agama mengancam kebhinekaan karena ia merupakan tindakan diskriminasi, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan.
Dampak dari intoleran dalam agama ialah tindakan atau perlakuan tidak adil, kerugian fisik atau materi dan mental atau kepribadian, ancaman terjadinya kekerasan atau perkelahian massal, ancaman kerukunan, ancaman kehancuran ekonomi masyarakat, ancaman terhadap eksistensi dasar negara yakni Pancasila.
Dilansir dari artikel detiknews, "Benih Intoleransi di Sekolah" Dicatat bahwa Indonesia, salah satu hal yang mencemaskan adalah ketika praktik intoleransi mulai banyak bermunculan dan tumbuh dalam institusi pendidikan. Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, memaparkan sebuah fakta dari hasil kajian dan penelitian tersebut bahwa 43.88% dari 1.859 pelajar SMA yang menjadi responden tersebut cenderung mendukung tindakan intoleran dan 6.56% mendukung paham radikal keagamaan (PPIM-UIN, 2017).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Suyanto dkk (2019) dari FISIP Universitas Airlangga menemukan bahwa di kalangan pelajar, intoleransi telah berkembang dalam skala yang cukup pesat dan cukup mencemaskan. Disampaikan bahwa institusi pendidikan sebagai wadah transfer ilmu tidak hanya menjadi tempat bagi pelajar untuk menimba ilmu untuk masa depan, namun dalam setiap kesempatan terjadinya infiltrasi pengaruh buruk dalam pergaulan sosial terhadap sesama pelajar dalam suatu lembaga pendidikan. Walaupun terdapat 67. 6% responden mengaku tidak pernah melakukan tindakan intoleransi kepada pelajar yang lain, tetapi sebanyak 32.4% mengaku pernah, sedangkan 29.2% mengaku jarang dan 3.2% mengaku sering melakukan tindakan intoleransi terhadap sesama pelajar dalam lindungan dan diluar sekolah.
Contoh Sikap Intoleransi
1. Menyudutkan teman yang berbeda gender, suku, ras, atau agama.
2. Mengejek teman yang berbeda gender, suku, ras, atau agama.
3. Menjelek-jelekkan hari besar agama lain. Menghina adat istiadat seseorang.
4. Tidak ingin bergaul dengan orang yang berbeda gender, suku, ras, atau agama.
Moderasi Beragama di Indonesia
Untuk mencegah sikap intoleransi pemerintah pada dewasa ini terus mengerahkan segenap elemen dalam menanamkan moderasi. Paham Moderasi sendiri dapat diambil dari kata moderatio dari bahasa Latin yang berarti tidak berlebih-lebihan. Yang dalam terjemahan lain dapat diartikan sebagai penguasaan diri. KBBI mencatat bahwa moderasi sendiri merupakan pengurangan kekerasan. Hal ini dapat diartikan bahwa moderasi dapat meningkatkan penguasaan diri setiap masyarakat atau individu yang pada akhirnya terciptanya kebebasan dalam memeluk kepercayaan yang dianut oleh setiap warga negara. Dalam tahap ini setiap orang yang mampu dan mengedepankan sikap moderat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat meminimalisir sikap intoleransi sehingga kemudian terciptanya keseimbangan sosial yang baik dan merata.
Moderasi sendiri sebenarnya adalah prinsip yang mendasar yang tidak bisa diganggu gugat oleh individu atau kelompok masyarakat tertentu dibangsa ini, sebab moderasi adalah rujukan dari ideologi bangsa yang besar ini, bangsa Indonesia. Individu atau kelompok masyarakat yang memahami dan mengamalkan paham moderasi beragama disebut moderat. Moderasi beragama sesungguhnya adalah esensi agama dan implementasinya menjadi keniscayaan dalam konteks masyarakat yang plural dan multikultural seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terciptanya keharmonisan, kerukunan antar umat beragama.
Dalam sebuah tulisan dari (Lukman Hakim Saifuddin, 2019) bahwa seorang menjadi moderat bukan berarti meninggalkan agama sendiri, menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama, menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan, tetapi menjadi moderat berarti sebuah jalan tengah dalam keberagaman agama di Indonesia. Ia adalah warisan budaya Nusantara yang berjalan seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal.
Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia dalam rapat BPUPKI untuk berunding mengenai penerapan kelima sila yang kita sebut sebagai pancasila telah menyampaikan dalam forum tersebut dengan demikian; "kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!".
Dengan demikian sudah sepatunya setiap kita membanting tulang bersama-sama, pemerasan keringat bersama‚ perjuangan bantu-membantu bersama-bersama, untuk kepentingan bersama segenap bangsa Indonesia yang mutlak. Di dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Hak atas rasa aman adalah hak konstitusional setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama yang dijamin di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama pada 25 September 2023.
Dalam Praktik Moderasi Beragama Memiliki Beberapa Tujuan sebagai berikut;
1.Mencegah dan menghentikan kekerasan beragama dalam bentuk apapun.
2. Menciptakan keharmonisan antar umat beragama di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang pluralis.
3. Tercipta lingkungan keagamaan yang damai.
Peran Guru Dalam Menanamkan Beragama Kepada Peserta Didik.
Guru adalah individu yang memiliki peran penting dalam menjawab Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru sangat dibutuhkan dalam berdiri di garda terdepan dalam mencerdaskan, membimbing, dan membangun karakter bangsa.
Dalam berbagai sumber yang mendeskripsikan mengenai peran vital guru dalam menanamkan kultur budi luhur yang dicita-citakan leluhur bangsa sejak bangsa ini mulai berdiri di kaki sendiri (berdikari). Peran dan Fungsi Guru dalam Proses Pembelajaran Guru menurut UU No. 14 tahun 2005 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk pandangan dan sikap individu terhadap toleransi serta penerimaan terhadap perbedaan dalam suatu lingkungan yang majemuk. Oleh karena itu, langkah-langkah berikut dapat diambil untuk mencapai tujuan ini.
Pertama, Guru sangat diperlukan dalam pelaksanaan jalannya pendidikan dilakukan pengenalan sejak dini dengan memasukkan pendidikan tentang toleransi dan keberagaman ke dalam kurikulum sekolah. Hal ini mencakup materi yang mengenai hak asasi manusia, hak-hak minoritas, serta nilai-nilai universal seperti kasih, perdamaian, dan penghormatan (Paul Lederach, 1997).
Kedua, Sangat diperlukan kesadaran mengenai pentingnya memberikan pelatihan kepada guru dan tenaga pendidik agar mereka dapat mengajarkan prinsip-prinsip toleransi dengan baik. Guru yang terlatih dapat menjadi contoh dan mentoring bagi siswa dalam hal ini (United Nations Educational, 2017).
Berikut, salah satu hal yang dapat mengarahkan siswa-siswi dalam menumbuhkan kembangkan nilai-nilai toleransi adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler juga bisa menjadi sarana untuk mendukung toleransi. Dengan menyediakan klub perbedaan budaya dan dialog antaragama, siswa dapat memiliki pengalaman langsung dalam berinteraksi dengan individu yang berbeda (Maurice J. Elias et al, 1997).
Terakhir, perlu dilakukan kampanye atau mendemonstrasikan kesadaran moderasi beragama kepada masyarakat luas untuk mengedukasi orang tua dan masyarakat umum tentang pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan (Charles C. Haynes et al, 2007).
Semua langkah ini bersama-sama membentuk dasar pendidikan yang mendorong sikap toleransi dan penerimaan terhadap perbedaan sejak usia dini hingga ke dalam masyarakat umum.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa in-toleransi merupakan tantangan atau persoalan masa kini yang terus mengalami peningkatan. Untuk itu, berbagai pihak, terutama perintah dan melalui guru sangat diperlukan dalam menciptakan langkah-langkah strategis dalam mencegah sikap in-toleransi di Negara yang pluralis ini. Guru sebagai kaum yang dipercaya sebagai pihak yang berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya membangun moderasi beragama di lingkungan sekolah. Guru juga sebagai individu yang sangat diharapkan menanamkan nilai-nilai moderasi beragama kepada setiap peserta didik melalui pembelajaran di kelas dan kegiatan ekstrakurikuler yang dirancang untuk meningkatkan dan menanamkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan peserta didik sejak dini. Penulis: Yabes Merkido Ottu.
Posting Komentar