Berita-Cendana.Com- Jakarta,- Bagaimana proses kreatif menulis sastra (baca : puisi !) yang saya lakukan pertama kali. Saat masih duduk di bangku SMP kelas II bulan Juli tahun 1977 untuk pertama kalinya puisi saya berjudul IBUNDA dimuat di Harian Umum KOMPAS pada rubrik sajak anak-anak. Bagaimana saya tahu bahwa puisi saya dimuat di Harian Umum KOMPAS?.
“Lasman, di kantor kepala sekolah ada kiriman wesel untuk kamu. Coba ambil sana,” kata guru bahasa Indonesia saat saya sekolah di SMPN 85 di Jalan Wijaya Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Bukan main senangnya saya mengetahui puisi saya dimuat di ruang sajak anak-anak Harian Umum KOMPAS dengan honor (saat itu) Rp. 750,- (tujuh ratus lima puluh rupiah). Sampai hari ini kliping koran tersebut masih saya simpan dengan baik di perpustakaan pribadi.
Kematian ibunda tercinta-karena penyakit kanker ganas- saat saya masih duduk di bangku SMP kelas 2- telah menginspirasi dan memotivasi saya untuk terus bersemangat menulis puisi.
Sungguh, sedih berkepanjangan, jadi pendiam, dan stress karena kematian ibunda tercinta. Selain lahir sajak IBUNDA (1977) pada tahun 2021 saya masih menulis puisi berjudul IBUNDA MATI MUDA.
Saat saya kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik (STP/IISIP) di Gedung Kanisius Menteng Raya dan Lenteng Agung (angkatan 1981-red) mulailah saya “berkenalan” dengan sejumlah penyair kampus seperti Arief Joko Wicaksono, Isson Khairul, Humam S. Chudori, Harianto Gede Panembahan, dan masih banyak lagi.
Saat bekerja sebagai reporter Majalah Remaja “Monalisa” saya bersama Penyair Wahyu Wibowo, Naning Pranoto, dan Nadjib Kartapati Z, sempat membuka rubrik puisi. Hanya sayang, majalah ini tak bertahan lama Bangkrut !.
Dan, saat menjadi wartawan Harian Umum “Sinar Pagi” (1986-1996) dan wartawan Harian Umum “Mandala” ( 1996- 1999 pada perwakilan di Jakarta) saya tetap terus menulis puisi (manuskrip) dan masih sempat beberapa kali puisi saya dimuat di Harian Umum “Jayakarta”.
Sayang, banyak kliping karya puisi saya “hilang” ditelan air banjir Kali Krukut (anak Kali Ciliwung) di kawasan Jln. Rengas Kebayoran Baru dan Jln. Antena 6 Radio Dalam Jakarta Selatan.
Pada bulan Juli tahun 1997 buku antologi puisi saya TRAUMATIK (yang pertama) diterbitkan oleh penerbit CV. Gita Kara dengan editor Penyair Ayid Suyitno PS dengan juga ‘berkonsultasi’ bersama Penyair Nanang Ribut Supriyatin.
Kemudian pada tahun yang sama terbit buku Antologi. Puisi tunggal ke-2 berjudul KALAH ATAU MENANG yang diterbitkan oleh SASTRA KITA JAKARTA.
Disusul penerbitan buku Antologi puisi tunggal BERCUMBU DENGAN HUJAN (2021-penerbit The First On-Publisher in Indonesia).
Selanjutnya buku Antologi puisi tunggal MATA ELANG MENABRAK KARANG (2021-penerbit Cakrawala Satria Mandiri). Lalu TIDUR DI RANJANG PETIR (2021-diterbitkan oleh CV. Megalitera) Serta RUMAH TERBELAH DUA (2021, penerbit CV. Poiesis Indonesia).
“Puji Tuhan, empat buku Antologi puisi saya sepanjang tahun 2021 lalu diterbitkan oleh penerbit swasta. Prosesnya dimulai saya menawarkan naskah puisi, berikut disertakan biodata, foto, kata pengantar, dan sinopsis kepada penerbit. Setelah melalui proses kurasi yang ketat dan butuh waktu sekian bulan, pada akhirnya karya puisi saya diterbitkan secara GRATIS dengan sistem royalti. Paling saya diwajibkan untuk membeli buku hanya 10 eksemplar untuk nomor bukti dan untuk relasi. Jadi, saat ini untuk penerbitan buku Antologi puisi tunggal ada melalui jalur mandiri (biaya sendiri) dan melalui jalur diterbitkan secara GRATIS,” kata saya ketika Penyair Omni Koesnadi bertanya kepada saya mengenai proses penerbitan buku antologi puisi tunggal saya saat rehat perayaan Hari Puisi Indonesia (HPI) ke-10 di depan pelataran Teater Kecil TIM Jakarta, Selasa sore (26/7/2022).
Pada hari ini (Kamis 21 September 2023)-mohon doa restunya-saya tengah mempersiapkan penerbitan buku Antologi puisi tunggal ke-8 berjudul MEDITASI BATU. Puji Tuhan, sudah ada beberapa penerbit yang bersedia menerbitkan buku Antologi puisi tunggal ini.
Sementara untuk buku Antologi puisi bersama para penyair seluruh Indonesia, karya puisi saya ada termuat di 26 buku Antologi puisi bersama.
Sebanyak 7 buku Antologi puisi tunggal saya oleh penerbit telah diserahkan ke Perpustakaan Nasional di Jln. Salemba Raya Jakarta Pusat serta Pusat Dokumentasi Sastra (PDS-HB. Jassin). Saat pandemi covid dan revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), saya minta bantuan (via telepon) kepada rekan Penyair Ritawati Jassin .
Sekedar tambahan memasuki era tahun 2000-an hampir kurang lebih 14 tahun (saat itu saya bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Surat Kabar Dialog-Jakarta) karya puisi saya (lebih banyak merupakan karya puisi rohani gereja) dimuat di Majalah “Mahkota” milik Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) Konferens Jakarta.
Karya puisi rohani ini sudah diterbitkan dalam buku Antologi puisi saya yang ketiga diberi judul “Taman Getsemani” penerbitnya adalah Komunitas Sastra Pamulang (KSP-2016).
Sungguh sesuatu yang menggembirakan pada Juli tahun 2012 hampir setengah halaman koran di HU. Seputar Indonesia (SINDO) edisi minggu memuat beberapa karya puisi saya.
ERA SASTRA MULTIMEDIA
Sejak tiga tahun terakhir ini dalam proses kreatif menulis puisi saya mulai “merambah” ke sastra multimedia, dan rajin mempublish karya-karya puisi melalui media sosial (medsos) dan media online.
Seperti kelakar Penyair Kasdi Kelanis dari Sragen bahwa kita ini “penyair facebook”. Betul saya ini masuk kategori “penyair facebook’ era pandemi covid-19 seperti diakui sendiri oleh Penyair Senior Sugiono MPP yang belakangan ini rajin kritisi dan menulis tentang karya-karya puisi saya di media digital.
Sepanjang era sastra multi media ini Penyair Nanang Supriyatin, Ayid Suyitno PS, dan Humam S. Chudori pernah menulis dan membahas karya-karya puisi saya yang termuat dalam buku Antologi puisi tunggal.
Bahkan belum lama ini Mas Bagyo (Redaktur, penyair, dan cerpenis) menulis dan membahas karya puisi saya yang dimuat Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA.
Saya bersyukur punya akun facebook (#lasman simanjuntak dan #BRO), instagram (#lasmansimanjuntak) serta akun youtube (#beritaraya tv dan #lasman tv yang subscriber nyaris tembus 900, masih sedikit memang). Dan, saya juga ikut bergabung serta menjadi member sejumlah komunitas dan masyarakat sastra pada laman facebook.
Semoga Tuhan memberikan kesehatan kepada saya untuk terus menulis puisi, di tengah kesibukan bekerja sebagai wartawan dan juga seorang rohaniawan.
Puji Tuhan, pada puncak perayaan Hari Puisi Indonesia (HPI) ke-11 yang berlangsung di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM) , Jakarta, Rabu (26 Juli 2023)-dalam keadaan kondisi sehat wal'afiat saya bisa bertemu lagi dengan rekan Penyair Nanang R Supriyatin, Sapto Wardoyo, Herman Syahara, Romy Sastra, Kurnia Effendi, Mas Edo, Omni Koesnadi, Wahyu Toveng, dan sejumlah Penyair Perempuan Indonesia (PPI).
Di bawah ini saya turunkan sejumlah puisi terbaru.
PUISI
Pulo Lasman Simanjuntak
MENULIS SAJAK DENGAN AIR LUMPUR
Menulis sajak dengan air lumpur
tubuhku harus turun perlahan
ke kaki-kaki bumi
Jaraknya dibatasi ribuan paralon
kadang tak puasa seharian
menelan perkakas biji besi
Sampai bersekutu
dengan kegelisahan
tak mandi matahari
Nyaris tiga tahun
aku buas memperkosa
apa saja binatang liar
yang menyusup dalam air tanah
Menulis sajak dengan air lumpur
tak kunjung selesai
sampai bait ketiga
Lalu kutebar kemarau
di area persawahan yang berkabut
baunya sangat membusuk
Racunnya tiba-tiba membentuk
sebuah ritual yang menyebalkan
sehingga kulitku gatal dan keruh
membabi buta siang dan malam
Maka menulis sajak dengan air lumpur
harus diselesaikan dengan tuntas
Jakarta, 2023
PRIA TANPA KELAMIN
Pria tanpa kelamin
rajin menyapa
hujan sore hari
sambil tertidur pulas
menjelma jadi hewan pemalas
Dari atas ranjang tembaga
ditularkan ribuan kuman
tumbuh subur
dalam akar panas bumi
perlahan dimatikan
angan-angan terjebak di atas dahan
Setiap pergi pagi buta
ingin menembus belantara Kota Jakarta
hari-hari selanjutnya
makin mengerikan
Paru-parunya kini terinfeksi
bakteri takut dewa matahari
bahkan hatinya
hanya mengalahkan dua kali
semakin gelap
ingin pergi ke planet
dunia orang mati
Pria tanpa kelamin
memiliki sepotong ginjal
yang telah membuat bengkak
seluruh rumah suci
tempat orang berdoa
mengumpulkan dosa
masa lalu paling menyakitkan
Pria tanpa kelamin
pingsan sejenak
lalu bangun lagi
tabur mawar
di tempat tidur penyakit menular
benar-benar liar
Apakah masih ada harapan
karena kemelaratan
berlanjut untuk waktu yang lama
Jakarta, 2023
RUMAH SAKIT BERTINGKAT
Dari muka tulisan suci
tubuhnya terus membengkak
berubah menjadi bangunan
rumah sakit bertingkat
Lalu menatap langit sepanjang hari
yang menelan
kuman diagnosis penyakit
menyebarkan
kesepian berdahak
dari perawan yang tidak memiliki sperma berkepanjangan
Jam berapa sekarang, tanyanya
bau infus telah menyebar
ke kuburan basah
air mata merah
kemarahan
telah menyebarkan kebohongan
“Jika kematianku datang, biarlah dibungkus dengan kain kafan tua, karena peti mati itu terlalu mahal untuk dijual di bawah bumi tak berpenghuni,” pesanmu
Lalu sebelum pulang
telah melewati ranjang kematian ini
tepat di bawah perutmu yang berlubang
disuntikkan ke dalam terowongan berair
tembus ke liang lahat
memang mengerikan!.
Jakarta, 2023
KHOTBAH
Khotbah selama berabad-abad
sudah dipanggil
di atas mimbar tradisional
sampai ditelan dengan rakus
kelaparan media digital
Kami ingin berjalan pasti
menerobos langit merah ketiga
meskipun setiap jam berdentang
mengalahkan keras
kita tersesat
di pemukiman liar
Tidak bisa menyanyi lagi
sekitar lima ribu orang makan roti komuni
ikan terbang
Benua orang-orang yang kesepian
Haruskah kita bermain sandiwara?
seluruh pesan surga
disampaikan berulang kali
di layar zoom
menyajikan segelas jeruk
di perut bumi
Sementara fashion kita benar-benar beku
terpukul keras oleh bulan
di bawah jembatan mobil terapung
trotoar jalan Kemerangan
air toilet
Aku tidak bisa lagi melanjutkan khotbah ini
karena harus bergegas
kembali ke rahim bumi
dengan tangan berkerudung
di sembilan mata angin
berjualan sangat membosankan.
Jakarta, 2023
GENOSIDA
Di galeri seni kuno
terbagi menjadi empat penjuru kota
protes sejak pandemi merebak
Masih ada sejumlah file puisi yang terluka
dibagikan di meja pengadilan rakyat
entah sampai kapan bisa dinyanyikan
menjadi kemenangan
Penyair masih terkunci di dalam sangkar
bangunan cagar budaya juga dibakar
akan menjadi taman impian lautan yang lapar
hanya karya seni yang diciptakan saja
untuk mendapatkan keuntungan dari para kapitalis yang ganas
Sekarang mereka masih ketakutan
harus membayar tiket pertunjukan
dipanggil di tempat parkir
orang-orang yang lewat tidak peduli
bahkan suara petasan pun terdengar
di panggung tari tradisi panjang
Rumah budaya siapa ini, tanya seorang teman penyair yang baik
dia rajin tidur di tenda kematian
menatap bintang dan langit kehidupan dari layar kekeringan
hampir seperti tornado
membawanya terbang tinggi
ke negara-negara palsu
Aku hanya diam
memunculkan sejumlah pertanyaan abadi
bahwa aku harus memberitahu
di atas cawan penderitaan yang mencair
lapar akan kata juga
meniup harta karun.
Jakarta, 2023
METAFORA TUBUH
Perjalanan ini kembali lumpuh !
padahal sudah diselimuti
tiang awan dan tiang api
Bersinarlah matahari
ritual tanah pagi hari
menusuk cahayanya
pada perut dan kaki
lapar kembali lagi
"Lihatlah jantung kirinya makin membengkak seperti dia menjelma jadi binatang melata yang malas untuk tidur di kandang margasatwa," kata anakku yang rajin menyebar ratusan paku tajam dari pulau-pulau terluar
Seperti Sadrakh Mesakh dan Abednego
dalam ancaman dapur api
maka perjalanan ini
harus terus dibangun dengan kesetiaan bertubi-tubi
Sampai tembus langit ketiga
sampai pintu kasihan ditutup kabut
turun ke dunia orang mati
ditimbun batu-batu roh.
Jakarta, Senin 7 Agustus 2023
TELEPON BENCANA
Telepon bencana saya terima malam tadi usai kelelahan setrika listrik sampai halus berita-berita korupsi dan lagu partai politik baru dengan janji seperti suara anjing rabies yang sedang viral di media sosial
Telepon bencana lalu berpesan untuk segera berangkat tepat pukul sepuluh malam naik transportasi kereta api cepat massal untuk menuju ke sebuah pegunungan es yang sedang pameran proyek konstruksi dengan meminjam dana talangan dari bank-bank di luar angkasa alam semesta
Telepon bencana membuat saya marah, kesal dan nyaris bipolar karena esok hari saya harus mendendangkan lagu puisi sejarah masa lalu di sebuah gedung kesenian rakyat yang dibangun dengan setengah tubuh cacat dan nyaris lumpuh
Telepon bencana pada akhirnya harus saya tutup dengan sel-sel otak besar dan kecil pecah berhamburan di dinding rumah dengan tiga musibah tertulis dalam puisi tempohari
Telepon bencana tetap saja membuat saya bisa nyenyak tidur walaupun rekening bank telah diblokir dan angka statistik jumlah kemiskinan serta pengangguran di negeri ini terus terbang ke cakrawala sampai mencapai angka seribuan warga negara yang pindah kewarganegaraan
bagi kemiskinan dengan cuaca yang makin ekstrim
Jakarta, Selasa 11 Juli 2023
PERJALANAN PENYAIR
Perjalanan penyair
ternyata tak kunjung selesai
ribuan kilometer sudah ditempuh
menembus ruang dan waktu
nyaris berbatu-batu
Kadang tanpa nyala api
dan tanpa tiang matahari
mengangkut sekeranjang persungutan abadi
disantap buah kelaparan
disebar di tikungan jalan sangat tajam
Perjalanan penyair
sering dipermalukan
berulang-ulang jatuh
minta sesuap makan ikan
dengan saudara tak kembar
seperti peristiwa tadi malam
seekor bulan purnama bertanya lagi
bagaimana mengeja masa depan
ada menjelma roh ketakutan
entah sampai kapan
semua berakhir di kuburan.
Jakarta, Selasa, 18 Juli 2023
UTANG DALAM RAHIM IBU
Utang dalam rahim ibu
lahirkan bayi-bayi kembar
kurang gizi dan nutrisi
Padahal harus ditebus
dengan angka lima digit
bila dikalkulasi menjadi
ribuan triliun rupiah
Terkurung dalam sangkar besi
maka terlihatlah dari sini
wajah pucat pasi
menunggu kepastian
pelunasan bunga berduri
sampai dini hari tadi
Para pakar hukum filsafat berpesan berulang kali, janin bayi harus segera ditanam lagi
Haramkan perkawinan dini
karena harus bertempur
di sumur-sumur subur
bangsa tirai bambu ikut menabur
Koruptor dan penggali
tanah kubur
membanting harga sandang dan pangan
saling berkejaran di bursa saham
Orang-orang pinggiran
mati menggelepar
ditusuk pisau kelaparan
aneh, sajakku ikut terkapar !
Jakarta, Kamis 6 Juli 2023
PENYAIR BERMATA BATU
Penyair bermata batu
memasuki usia suntuk
seharian menyalin meditasi
agar ada sajak-sajak suci
mengalir dari mata air sungai kehidupan anak domba yang disembelih
Tanpa tulisan dan suara sunyi terus berbisik
berguguran tubuh matahari
supaya jangan ada lagi amarah meledak
yang bau busuknya
menyusup dalam perutmu yang kian mengecil
tetapi aku suka berkelamin
Penyair bermata batu
ikut kecewa bahkan anaknya yang senang berhala tak lagi pandai berucap sedap
ia terjebak di pulau-pulau terluar
sambil terus berdansa
menghisap tidurnya yang bermalam di padang kelam
Penyair bermata batu lalu melarikan sajaknya ke gedung kesenian rakyat
di sini ia bertemu para pujangga yang punya lidah tajam
seperti pisau cukur tua
mereka lalu bertukar wajah
dengan presiden penyair
tak lagi mabuk anggur
yang dipetik dari ribuan bintang sampai langit ketiga
Aku sendiri mau menyendiri
tak sanggup menatap penyair bermata batu
keluh kesahnya semakin terluka memerah
dalam sajaknya yang kelaparan ini
Jakarta, Selasa, 27 Juni 2023
Sebelum menutup tulisan opini ini ada satu komentar yang disampaikan oleh Penyair Anto Narasoma , Senin 17 Juli 2023 (dari Palembang, Sumatera Selatan-red) terhadap beberapa karya puisi Penyair Pulo Lasman Simanjuntak.
“Wah, secara estetik, puisimu begitu kuat Bang Pulo Lasman Simanjuntak,".
“Secara semiotik, pemaparan nilai di dalamnya begitu matang,".
“Iya. Itulah kandungan jiwa yang sarat estetika sastra. Apabila melihat fokus ide yang ditangkap, ia akan menjadi karya yang bernas dan kaya estetik,".
(**/penulis adalah penyair, dan sastrawan bermukim di Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Kontak person : 08561827332-WA)
Oleh : Pulo Lasman Simanjuntak.
Posting Komentar