OPINI: Nasib Tragis Reformasi Di Tangan Jokowi

Ket. Foto: Foto Google 


Berita-Cendana.Com- Jakarta,- Dulu saya dukung Jokowi karena dia berasal dari rakyat jelata. Dia bukan anak siapa-siapa. Bukan anak mantan presiden, bukan anak pengusaha/ konglomerat, bukan anak jenderal, bukan anak pejabat tinggi dan bukan  anak bangsawan berdarah biru.


Tapi beliau adalah anak desa. Seorang anak dari rakyat jelata kebanyakan. 


Ketika beliau memimpin Solo, beliau sangat beda dengan sosok pemimpin yang selama ini ada, dimana pemimpin itu berlagu, gila hormat dan bermental bossy.


Tapi beliau hadir apa adanya.  Beliau hadir sederhana dan merakyat. Beliau pekerja keras untuk memberikan terbaik pada warganya dengan tulus tanpa kenal lelah.  Dia memiliki sikap yang tinggi kepada warganya.. 


Kami sebagai Aktivis 98 ketika melihat sosok Jokowi itu, sosok inilah yang kami cari. 


Kemuakan kami pada watak-watak pemimpin korup, elitis, dan bossy tersebut, Jokowi adalah antitesis dari watak pemimpin Orde Baru tersebut.  Jokowi adalah sebagai percontohan presiden merakyat yang diimpikan pada era reformasi ini. 


Maka kami bertekad menjadikan Jokowi sebagai orang nomor satu di Republik ini. 


Apalagi kehadiran Prabowo  yang merupakan representatif keluarga Cendana, kami 98 harus mati-matian menjaga reformasi pada Pilpres 2014 itu.  Potensi Prabowo menang sangat lah besar.


Perjuangan berat kami untuk mendongkrak elektabilitas Jokowi adalah merubah mindset masyarakat tentang sosok pemimpin. Faham masyarakat tentang sosok pemimpin itu adalah sosok yang gagah, berwibawa dan berdarah biru serta bicara gagasan-gagasan besar tentang Indonesia dan tatanan dunia. Sementara Jokowi jauh dari persyaratan tersebut. 


Dengan gigih kami bergerak ke tengah masyarakat untuk memberi pemahaman  bahwa bangsa kita butuh sosok pemimpin pekerja keras, sosok orang sederhana dan merakyat.  Di luar ekspektasi akhirnya mendapat respon besar dari masyarakat. 


Perspektif baru atas sosok pemimpin yang kami tawarkan tersebut menggelinding seperti bola salju dan menjadi kekuatan bersama untuk mendukung Jokowi. Jokowi berhasil menang pada Pemilu 2014 dan 2019.


Namun kemenangan itu, pada diri pribadi saya tidak saya dapat dengan harga murah. Saya membayarnya dengan tusukan pisau ke perut saya oleh kelompok anti Jokowi. Karena pendukung Jokowi dianggap oleh anti Jokowi sebagai kelompok anti Islam serta pendukung aseng.


Sekarang  saya terguncang melihat kepemimpinan Jokowi pada periode kedua ini. Nilai-nilai yang kami perjuangkan itu,  sepertinya sudah mau dikhianatinya.


Jokowi menyadari bahwa kekuasaan dia miliki sebagai Presiden ternyata sangat sakti mandraguna yang membuat semua orang tunduk dan bertekuk lutut padanya. Ini membuat dia mulai tergoda untuk memanfaatkannya.


Jokowi  sudah mulai menabrak prinsip-prinsip reformasi yang kami cita-citakan dan sosok Jokowi yang kami harapkan. 


Apa yang disebut Yusril Ihza Mahendra bahwa Jokowi mengelola negara seperti warung kopi ternyata semakin terbukti kebenarannya (meskipun orang tersebut sudah ikut bertekuk-lutut juga sama Jokowi). Jokowi mengelola negara sudah ugal-ugalan. 


Pada periode kedua, Jokowi membentuk kabinetnya sangat kental berbagi jatah dan bertujuan mengamankan kekuasaannya. Banyak posisi diberikan pada orang tidak jelas kompetensinya.


Meski ngomong ke publik bahwa dia butuh sosok yang mendobrak rutinitas dan mampu melakukan loncatan besar.  Ternyata itu bulshit.


Perekonomian rakyat bawah semakin melemah. Tindakan pembangunan ekonomi dilakukan Jokowi sangat pro pada ekonomi kelas atas. Jokowi juga sangat pro berlebihan pada investasi asing dengan mengorbankan ekonomi rakyat bawah. 


Pembangunan mega proyek merupakan terobosan besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara besar dan modernis tetapi sangat disayangkan tidak seiring membangun perekonomian rakyat menengah ke bawah. 


Untuk ambisinya sebagai presiden yang berhasil gemilang membangun infrastruktur yang modernis di Indonesia, tapi Jokowi tega mengabaikan penderitaan rakyat.


Menikmati pembangunan diartikan Jokowi adalah rakyat berswa foto ria di infrastruktur dibangunnya. Bukan paralel  membangun Sumber Daya Manusia  yang unggul.


Korupsi dan Kolusi semakin 

gila-gilaan terjadi di masa periode kedua Jokowi ini. Dulu jumlah nilai uang korupsi bernilai miliaran rupiah, sekarang sudah mencapai ratusan miliar, bahkan tembus ke angka puluhan triliunan rupiah.


Berlindung wajahnya yang lugu dan bahasanya seperti orang polos, Jokowi pun mensetting anak dan menantunya sebagai kepala daerah. Iparnya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi. 


Anak bungsunya hanya baru dua hari menjadi anggota satu partai dengan bin salabim menjadi Ketum. Ini kendaraan politik untuk anak bungsunya bisa tampil dalam kancah politik 2024. 


Dibawah bayang-bayang bapaknya sebagai Presiden, dia  bisa tampil eksis pada panggung politik 2024 mengalahkan orang-orang yang berdarah-darah berkiprah dalam dunia politik. 


Tidak cukup itu saja, Jokowi mensetting anak sulungnya Cawapres 2024. 


Umur anak sulungnya tidak sesuai ketentuan konstitusi sebagai syarat Capres/Cawapres, tetapi pamannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) hadir untuk menggolkannya bisa mencawapres.


Ini pertunjukan yang sungguh tragis dilakukan Jokowi. Sangat berbahaya buat keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara  Indonesia dari hasil peleburan kerajaan-kerajaan Nusantara, tapi Jokowi dengan entengnya menjadikan negara ini seperti milik keluarganya.


Jokowi juga dengan sangat entengnya  menyimpangkan reformasi yang kami amanatkan kepada dia.


Kami dulu marah pada Soeharto saat anaknya diangkat sebagai Menteri. Sekarang kami marah melihat nepotisme dan politik dinasti yang dimainkan Jokowi.


Jangan sampai  reformasi mati ditangan Jokowi. Jangan sampai program-program bagus telah dikerjakannya berantakan. 


Kekuasaan itu memang melenakan. Kekuasaan bisa menimbulkan seseorang jadi jumawa bahwa dirinya adalah orang yang bisa melakukan apapun,  termasuk menjadikan anak-anak dan keluarganya menjadi orang-orang berkuasa di Indonesia ini.


Tetapi rakyat tidak sebodoh dibayangkan Jokowi dan para pengikutnya. Beberapa kali peristiwa sejarah membuktikan, bahwa politik dinasti  mendapat perlawanan yang keras dari rakyat.


Kita lihat saja setelah masa jabatan Jokowi habis. Apakah anak, menantu dan iparnya disanjung-sanjung seperti sekarang. Penulis Aztan (Aktivis 98).

0/Komentar/Komentar

Lebih baru Lebih lama

Responsive Ad Slot

Responsive Ad Slot