Berita-Cendana.Com - Kupang,- Pemilu sudah diambang pintu. Partai-partai politik ramai-ramai sibuk menyiapkan kader-kader terbaik dan bahkan hanya melihat dari popularitas semata tanpa prestasi yang menjulang tinggi untuk ikut bertarung dalam pemilihan legislatif dan eksekutif dari daerah hingga ke pusat.
Menariknya, tahun politik kali ini didominasi oleh kalangan anak muda, tentu saja ini adalah sebuah kemajuan, anak muda telah menyadari betapa pentingnya politik dalam ikut serta membangun bangsa dan negara. Semoga ini merupakan sebuah kesadaran yang lahir dari jiwa nasionalisme yang tinggi.
Tidak terlepas dari momentum politik yang semakin memanas yang terus di obok-obok oleh kaum elit dari berbagai kalangan.
"Saya ingin mengajak kita sekalian untuk menyeruput kopi hangat yang sedang disodorkan di negeri ini. Apalagi kalau bukan putra sulung Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko widodo, Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo yang baru beranjak tahun kedua dan belum sepenuhnya sukses menjalankan visi dan misi kampanye beberapa tahun yang lalu, namun kini di tosser menjemput bola panas yang diracik sedemikian rupa dan partai Golkar menjadi rumah untuk maju sebagai bacawapres.
Secara pribadi saya ingin mengajak kita untuk sejenak dan lebih tenang melihat melihat sebuah tontonan tindakan atau mainan politik yang secara terang-terangan menimbulkan asumsi-asumsi negatif.
Pertama: Terjadinya Politik Dinasti
Politik Dinasti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga. Politik Dinasti di negara Indonesia telah tumbuh dan mengakar, hanya saja dikalangan masyarakat melihat itu sebagai sesuatu hal yang dianggap biasa-biasa saja.
Jarang sekali praktik politik Dinasti menjadi topik diskusi oleh pengamat politik di negeri ini, sehingga hal ini tidak menjadi sesuatu yang menonjol namun demikian politik Dinasti tersebut telah menjadi momok yang tidak bisa dihindari.
Dinasti politik sendiri merupakan sebuah pola atau strategi politik yang dimainkan oleh seorang pemimpin yang diturunkan kepada keluarga atau anak-anaknya dalam melanjutkan tongkat kepemimpinan. Lalu apakah Dinasti politik disalahkan?. Sebenarnya ini merupakan praktek politik yang layak-layak saja namun sangat mempengaruhi etika sosial kemasyarakatan jika Dinasti politik dipraktikkan di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Demokrasi.
Apa yang menjadi langkah putra sulung Presiden Joko Widodo sebagai cawapres yang terang-terangan diperbincangkan akan mendampingi Menteri Pertahanan Republik Indonesia dari kabinet Indonesia maju, Prabowo Subianto, tentu saja merupakan praktek politik Dinasti yang dimainkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai ayah sekaligus presiden aktif.
Jika ditinjau dari umur yang masih sangat belia yang setelah melalui pertimbangan Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman yang tidak lain juga adalah paman dari Walikota aktif dari Solo tersebut menyetujui batas umur minimal capres dan cawapres yang juga menguntungkan Gibran sendiri. Diketahui bahwa keputusan MK adalah keputusan yang final dimana setuju atau tidak setuju harus diikuti oleh seluruh masyarakat tanah air.
Joko Widodo yang diharapkan menjadi pemimpin negara Republik Indonesia yang bisa mengokohkan NKRI di era reformasi ini pada masa akhir jabatannya dinilai melalaikan etika sosial kemasyarakatan dengan hadirnya sistem nepotisme.
Kehadiran Gibran di panggung politik di negeri ini tentu saja tidak lain adalah pengaruh besar dari seorang ayah, Joko Widodo seolah-olah memberikan karpet merah atau keuntungan secara khusus yang sangat berlebihan kepada putra sulungnya itu.
Dalam praktik politik Dinasti tersebut kemungkinan besar akan berdampak negatif seperti akan terjadi konspirasi politik, kepentingan kelompok dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala negara dan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) akan menjadi hasil akhir dari proses Dinasti politik.
Lalu Gibran diusung oleh partai Golkar untuk mendampingi Prabowo adalah sesuatu yang penuh tanda tanya. Apakah dengan segudang pengalaman partai sebesar Golkar yang lahir dan besar pesat di era Orde Baru akan dengan begitu gampang mengobrak-abrik Gibran Rakabuming Raka jika terpilih nanti?, ada apa dibalik ini?, "Saya pikir hanya Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, Joko Widodo sebagai Presiden dan ayah Gibran dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang tahu jawabannya. Kemungkinan Gibran tidak tahu jawabannya, ia siap sedia mengikuti arahan,".
Kedua: Gibran Rakabuming Tidak Berpeluang Mewakili Anak Muda.
Kehadiran anak muda di dunia politik adalah kesuksesan besar bagi negara ini. Namun harus disertai dengan pengalaman yang mumpuni dalam urusan ketatanegaraan.
Politik praktis bukan wahana belajar bagi anak muda apalagi setingkat calon wakil presiden. Sulit dibayangkan jika seorang anak muda yang baru saja meniti karir di dunia politik namun memulainya dari puncak tertinggi. Hal tersebut berpotensi terjadi kecelakaan dalam menaklukkan derasnya dinamika politik global yang semakin panas dan kompleks. Ditambah lagi dengan pengalaman Gibran Rakabuming Raka, yang jika dibandingkan dengan Presiden-presiden sebelumnya yang memulai karir politik dari bawah dan mampu memahami betul ketatanegaraan, maka Gibran kelahiran tanggal 01 Oktober 1987 hanyalah seorang bayi merah yang belum apa-apa, hanya mengandalkan nama besar atau popularitas dari seorang ayah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan sebanyak 275,77 juta jiwa pada tahun 2022, tidak ingin bangsa yang berada di masa-masa proses perjalanan menuju tahun emas 2045 hanya menjadi dongeng semata.
Masyarakat Indonesia menginginkan pemimpin atau nakhoda yang mampu menerobos berbagai persoalan dan dinamika dari dalam dan luar tubuh bangsa yang menjadikan pengalaman pengabdian untuk menjadikan bangsa ini terus berada pada jalur yang tepat wujudkan Indonesia emas 2045.
Indonesia yang diperkirakan akan menghadapi era bonus demografi beberapa tahun ke depan, tepatnya pada tahun 2030 hingga 2040 mendatang. Masa di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia. Tentu saja tidak menginginkan untuk melewati momentum tersebut dengan langkah yang salah. Momentum tersebut harus dihadapi dengan perencanaan yang matang dikarenakan bonus demografi tidak akan tercipta yang kedua kalinya dalam kurun waktu yang cepat. (*).
Posting Komentar