Berita-Cendana.com- Kupang, - Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) sebagai Kepala Daerah dinilai tidak jujur alias na’moeh dalam mengalokasikan dana Pemberdayaan Ekonomi Nasional (PEN) untuk investasi ‘Abu-Abu’ senilai Rp 492 Miliar. Sementara DPRD NTT sebagai wakil rakyat yang mengawasi jalannya pembangunan dinilai menganga alias nam’kak sehingga telah kecolongan dengan menyetujui alokasi anggaran megaproyek berkedok pemberdayaan masyarakat tersebut dalam APBD Tahun Anggaran (TA) 2021.
Demikian penilaian Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi (Araksi), Alfred Baun, SH terkait terkuaknya investasi ‘Abu-Abu’ senilai Rp. 492 Miliar untuk budidaya Ikan Kerapu/Kakap (Rp. 152 M), Ternak (Rp 100 M), Jagung dan Kelor (Rp. 100 M), serta Porang (Rp. 139 M) kepada sejumlah wartawan di bilangan Oesapa, Jumat (28/5/21) kemarin siang.
“Saya melihat ada ketidak kejujuran dari Bapak Gubernur NTT. Kami orang Timor bilang Na’moeh. Sebagai mitra DPRD, Gubernur tidak jujur dalam mengalokasikan anggaran untuk menjawab program unggulan dari Gubernur NTT untuk mengatasi berbagai masalah, terutama pengentasan kemiskinan di NTT. Sedangkan DPRD NTT sebagai lembaga pengawas saya nilai nam’kak (menganga, red) sehingga bisa kecolongan dengan menyetujui anggaran untuk investasi bodong itu. Ada ketidakjujuran gubernur dalam alokasikan anggaran dan kemudian memposting ke DPRD. Karena DPRD nam’kak sehingga terjadi kecolongan anggaran yang begitu besar,” jelas Alred.
Menurut Alfred, terkuaknya investasi ‘Abu-Abu’ menggambarkan bahwa ada ketidakjujuran Pemprov NTT. “Pemprov sendiri tidak jujur dalam mengalokasikan dan menggunakan anggaran di daerah ini. Itu adalah skenario-skenario penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran. Tujuan dan sasaran megaproyek investasi ‘Abu-Abu’ tersebut tidak jelas. Pemberdayaan ekonomi masyarakat hanya dijadikan kedok belaka,” kritiknya.
Alfred membeberkan, sesuai pantauan Araksi, pilot project budidaya ikan kerapu, jagung, ternak dan porang tidak berjalan sesuai yang digembar-gemborkan oleh Pemprov NTT. “Kami lihat di lapangan, tidak ada pemberdayaan masyarakat. Model pemberdayaannya bagaimana? Skenario pengembalian investasinya seperti apa? Rakyat dapat apa? Pemprov dapat apa? Jangan sampai Pemprov berhutang tapi tidak dapat untung malah buntung. Sedangkan pihak ketiga/obstekernya yang untung,” bebernya.
Bahkan menurut Alfred, adanya alokasi anggaran yang sangat besar untuk megaproyek investasi ‘Abu-Abu’ pada APBD NTT TA 2021 tersebut merupakan kesewenang-wenangan anggaran dari Pemprov dan DPRD NTT. “Sangat disayangkan anggaran yang begitu besar dihamburkan begitu saja. Ini sebenarnya adalah kesewenang-wenangan dalam mengalokasikan anggaran. Anggaran begitu besar, siapa yang menikmati hasilnya? Karena itu Araksi sangat mendukung DPRD NTT untuk membatalkan investasi bodong tersebut,” tegasnya.
Mengenai adanya dugaan investasi ‘Abu-Abu’ tersebut merupakan skenario untuk mencuri uang negara, Alfred tidak menampiknya. “Ada skenario-skenario yang tidak tepat sasaran. Itu yang saya bilang Pemprov NTT sebagai pemilik anggaran tidak jujur terhadap dirinya dalam mengalokasikan anggaran dalam menyukseskan program unggulannya,” kritiknya lagi.
Ia menjelaskan, ketidak kejujuran Pemprov NTT dalam mengalokasikan anggaran tersebut, tentunya akan mengecewakan masyarakat NTT. “Nah kalau pemprov sendiri tidak jujur, bagaimana publik NTT ini bisa dapat pelayanan yang baik?” ujar Alfred.
Selain ketidakjujuran Gubernur, Alfred menilai DPRD NTT mengalami kecolongan anggaran karena telah menyetujui investasi ‘Abu-Abu’ tersebut. “Karena DPRD NTT nam’kak makanya kecolongan. Sebenarnya DPRD NTT telah kecolongan pada saat pembahasan anggaran untuk investasi bodong itu karena anggaran yang dialokasikan tidak menjawab program unggulan Pemprov NTT. DPRD NTT terjebak dengan angka-angka sehingga hanya membahas nilai uang untuk kegiatan itu berapa?” ujarnya.
Seharusnya, papar Alred, DPRD NTT harus meminta penjelasan gubernur tentang proyek itu sebelum menyetujui besaran anggarannya. “Bagaimana pola pemberdayaannya? Skenario pengembaliannya seperti apa? Pemprov dapat apa? Rakyat dapat apa? Tapi yang terjadi, setelah ada penetapan bunga dari Pempus, baru DPRD kaget dan ribut mempertanyakan investasi bodong itu,” kritik mantan Anggota DPRD NTT ini.
Menurut Alfred, seharusnya dalam rapat-rapatnya, DPRD membahas program kerja Pemprov NTT. “Harusnya membahas bagaimana supaya kegiatan itu bisa berhasil? Tapi yang terjadi, perencanaan tidak jelas, skenario pengembalian investasinya tidak jelas karena hanya menguntungkan pihak ketiga, tapi kok bisa lolos? Ada apa ini? Saya berharap tidak terjadi ‘barter’ kepentingan antara kedua lembaga ini,” tandasnya.
Alfred mempertanyakan fungsi pengawasan anggaran DPRD NTT. “Hari ini kalau DPRD mengatakan terjadi investasi ‘Abu-Abu’, pertanyaannya, dua lembaga besar ini kemarin membahas apa? Jangan bilang dibatalkan karena ada bunga 6,19 persen. Biarpun tak ada bunga, tapi program tidak jelas (skenario pengembaliannya, red) seperti itu harus nya tidak boleh diloloskan,” tegasnya.
Alfred merasa ada yang sangat janggal dari investasi ‘Abu-Abu’ tersebut. “Kog Pemprov pinjam uang hampir setengah triliun rupiah, tapi yang menikmati keuntungannya adalah pihak ketiga? Saya minta Pemprov menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat NTT, siapa obsteker/pihak ketiga yang mengelola pinjaman itu? Jangan sampai ada dusta diantara kita?” pintanya.
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) yang dikonfirmasi Tim Media ini melalui pesan WhatsApp/WA tidak menjawab, walaupun telah dibaca. Sementara itu Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda NTT, Marius Jelamu yang dikonfirmasi Tim Media ini di Kantornya, Jumat (28/5/21) menjelaskan, membantah tudingan yang diarahkan kepada Gubernur NTT.
“Tidak benar kalau Gubernur atau pemerintah tidak jujur. Pemprov NTT telah mengikuti seluruh alur proses pengusulan anggaran secara benar sehingga APBD NTT TA 2021 ditetapkan. Lalu apanya yang tidak jujur? Kita harusnya bersyukur karena memiliki gubernur yang punya inovasi untuk melakukan terobosan sehingga ada lompatan-lompatan ekonomi bagi masyarakat,” ujar Marius.
Menurut Marius, budidaya ikan kerapu/kakap, jagung dan kelor, ternak dan porang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan ekonomi masyarakat di masa Pandemi Covid-19. “Pertumbuhan ekonomi NTT positif 0,12% karena daya tahan ekonomi lokal kita kuat dari sektor pertanian, peternakan dan perikanan. NTT termasuk dalam 10 provinsi (dari 34 provinsi, red) yang pertumbuhan ekonominya positif,” paparnya.
Marius juga menampik bahwa kegiatan investasi tersebut hanya menguntungkan pihak ketiga/obsteker. “Obsteker ini yang akan membeli hasil budidaya oleh masyarakat. Jadi keberadaan obsteker ini tentu menguntungkan masyarakat karena mereka akan membeli dengan harga pasar,” katanya.
Sedangkan mengenai skenario pengembalian investasi tersebut, Marius mempersilahkan wartawan untuk mengkonfirmasi langsung kepada kepala dinas teknis terkait. “Kalau mengenai skenario pengembaliannya, saya tidak dapat menjelaskannya karena itu sudah teknis. Silahkan ke dinas teknis terkait karena tentunya ada skenario pengembalian yang sudah disusun oleh dinas terkait,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua DPRD NTT, Emilia Nomleni yang ditemui wartawan di ruang kerjanya, Senin (23/5/21) mengatakan, belum dapat memberikan penjelasan terkait investasi ‘Abu-Abu’ tersebut. “Kita masih berproses. Untuk menolak atau menyetujui investasi tersebut, DPRD NTT memiliki mekanis pembahasan tersendiri. Dari rekomendasi Komisi III, kita sudah bahas dalam rapat Gabungan Komisi. Sekarang dikembalikan ke Komisi masing-masing untuk membahasnya,” ujarnya.
Karena belum ada keputusan lembaga DPRD NTT, lanjut Nomleni, Ia belum bisa memberikan penjelasan. “Ini kan prosesnya sementara berjalan. Kemarin itu kami butuh penjelasan mengenai bunganya. Kan bunganya berubah. Kan awalnya bunga nol persen. Kemudian berubah menjadi 6,19%. Kalau sudah final, kami pasti akan memberikan penjelasan,” ujarnya.
Ketika dimintai tanggapan pribadinya, Nomleni menolaknya. “Saya juga tidak dapat memberikan pendapat pribadi saya karena jabatan ketua yang juga melekat pada diri saya. Saya tidak ingin menimbulkan kebingunan di masyarakat,” jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, ada investasi ‘Abu-Abu’ alias tak jelas pola pengelolaan dan skenario pengembalian dana dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT senilai Rp 491.776.240.001,-. Program yang telah ditetapkan dalam APBD NTT Tahun Anggaran (TA) 2021 tersebut dibiayai dari Pinjaman Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan bunga sekitar Rp 30.440.949.256 per tahun atau sekitar Rp 243.527.594.048 Milyar selama 8 tahun.
Berdasarkan RKPD yang copiannya diperoleh Tim Media ini, ada program investasi yang dibiayai Pemprov NTT dari pinjaman daerah dari dana PEN tahun 2021. Dana tersebut merupakan termasuk pinjaman daerah yang disalurkan Pemerintah Pusat (Pempus) oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) senilai Rp 1,5 Triliun pada TA 2021.
Selain untuk membangun Jalan, Jembatan, dan Irigasi, dana PEN tersebut juga digunakan untuk Program investasi ‘abu-abu’ dengan nilai sekitar Rp 491 Milyar. Investasi ‘Abu-Abu’ ini terdiri atas beberapa kegiatan, antara lain untuk 1) Budidaya ikan kerapu dan kakap senilai Rp 152 M; 2) Budidaya jagung (TJPS) senilai Rp 100 M; Budidaya Ternak (Sapi, Babi, Kambing, Ayam) senilai Rp 100 M; dan 4) Budidaya Porang senilai Rp 139 M.
Untuk budidaya ikan laut, dialokasikan dana sekitar Rp 152,7 M untuk budidaya 1.390.000 ekor ikan. Ada 3 jenis ikan yang akan dibudidaya ekor yakni Kerapu Cantang, Kerapu Tikus dan Kakap Putih di tiga lokasi yakni di Mulut Seribu (Rote Ndao), Semau (Pulau Kambing) dan Teluk Hadakewa (Lembata).
Untuk pertanian tanaman pangan, dialokasikan dana Rp 100 Miliar untuk budidaya jagung/TJPS seluas 30.000 Ha sebesar Rp 93,3 M dan kelor sebesar Rp 9,7 M. Untuk peternakan, antara lain dialokasikan untuk pengembangan ternak sapi wagyu Rp 45 M (1.000 ekor), Kambing PE sebesar Rp 12 M (1.100 ekor), Babi sebesar Rp 22 M (1.100 ekor), Ayam sebesar Rp 2,5 M (22 ribu ekor), dan Sapi sebesar 4,5 M (50 ekor). Juga untuk pembangunan pabrik pakan di instalasi tarus sebesar Rp 13 M. Sedangkan untuk budidaya porang di 12 kabupaten seluas 1.363 Ha dialokasikan dana sebesar Rp 39 M.
Sementara itu, anggota DPRD NTT, Viktor Mado Waton (FPDIP dari Dapil Flotim, Lembata, Alor) dan Johanes Rumat (Fraksi PKB dari Dapil Manggarai Raya) serta Hugo Rehi Kalembu (Fraksi Golkar dari Dapil Sumba) meminta agar Pemprov NTT membatalkan atau menunda investasi ‘Abu-Abu’ senilai Rp 492 M tersebut karena tidak jelas pengelolaan dan skenario pengembalian investasi tersebut.
Bahkan Pilot Project dari investasi tersebut, baik budidaya ikan kerapu (belum dipanen dari tahun 2019, red), budidaya Jagung/TJPS hanya terealisasi 1.700 Ha dari target 10.000 Ha dengan alokasi dana Rp 25 M. Begitu pula dengan budidaya porang yang belum pernah dipanen. (YT/tim).
Posting Komentar